Benar adanya bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendefinisikan makna kecantikan dan kesehatan sesuai citranya masing-masing, tetapi apakah trend ‘puasa skincare’ membantu menyayangi kulit kita atau malah kebalikannya?
Asumsi yang biasa digunakan pada puasa skincare ini adalah:
“Lihat orang-orang jaman dulu, kulitnya dapat berfungsi seperti biasa walau tidak pakai skincare sama sekali kan?”
Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah definisi berfungsi ini berfungsi dengan baik, tampak sehat atau tidak? Apakah hanya karena terbiasa sekadar berfungsi berarti kita dapat memastikan kulit dalam kondisinya yang normal dan sehat?
Anggapan bahwa kulit seakan-akan dapat ‘berevolusi’ dan menjadi ‘kuat’ dengan sendirinya walau tidak dirawat ini tidak masuk akal. Selama berabad-abad sebelum ditemukannya obat-obatan modern atau antibiotik pada abad ke-20, penyakit kulit dapat mempengaruhi usia harapan hidup suatu generasi.
Dalam ranah skincare, baru di tahun 1990-an kita mengenal tentang pentingnya sunscreen dan efek inflamasi terselubung UVA, UVB yang berisiko menimbulkan kanker kulit dan memahami lebih jauh tentang rosacea atau berbagai peyakit kulit lain. Sebelumnya kita belum benar-benar memahami bagaimana kulit berfungsi dalam nuansa fisiologinya.
Untungnya kini akses informasi dan pengembangan pesat dalam penelitian dapat membantu memahami bagaimana kita bisa membantu kulit demi mencapai tujuan kulit yang diharapkan.
Puasa skincare ini seolah-olah membuat konotasi bahwa dengan memakai produk skincare ini layaknya ‘menjahati’ kulit dengan bahan-bahan yang sesungguhnya terbukti aman—dan bahkan bermanfaat—dari berbagai literasi medis atau ilmiah hanya karena memiliki nama kimia yang susah dieja. Singkatnya: chemophobia.
Bagi Glowmin, justru yang “menyakiti” kulit ini adalah membiarkan kulit terpapar sinar matahari dan mengiritasi dengan bahan-bahan sumber iritasi, bukan tindakan memakai skincare itu sendiri. Termasuk juga dari segi faktor paparan lingkungan atau menunda pengobatan penyakit kulit—seperti jerawat—yang seharusnya bisa diatasi dengan bahan-bahan yang sudah terbukti aman, efektif dan efisien.
Katanya: “Kulit bisa memperbaiki diri sendiri jika dibiarkan dan sudah melindungi kita dari penyakit secara alami, memproduksi Vitamin D, dsb”
Ini misleading dengan sedikit fakta. Walaupun memang kulit mampu memberi perlindungan terhadap paparan dari luar hingga derajat tertentu, tetap kemampuan ini lambat laun dapat berkurang atau terkompromi karena photodamage akibat akumulasi paparan sinar matahari, bertambahnya usia, atau faktor genetik.
Dan bahkan ketika kulit masih belia pun, kemampuannya masih terbatas dalam menghadang polusi kendaraan bermotor, perubahan iklim, asap rokok, atau matahari dari apa yang kini kita pahami sebagi faktor exposome kulit.
Berharap kulit—yang kebetulan kurang beruntung baik karena faktor genetik atau faktor lain sehingga mengalami kondisi disorder—menjadi normal kembali dengan dibiarkan saja itu layaknya berharap kita mendapat gizi dari sayur bayam hanya dengan sayurnya dipandangi saja.
Memang dengan menganggap kondisi disorder pada kulit (seperti jerawat atau hiperpigmentasi) suatu hal yang biasa juga tak kalah pentingnya demi mencegah munculnya stigma dalam hal berkehidupan sosial, tetapi disorder kulit tetaplah pertanda bahwa sesuatu abnormal sedang terjadi pada kesehatan karena kulit adalah salah satu organ tubuh yang perlu dirawat.
Terutama jika kondisinya sudah parah: sudah banyak pilihan bahan-bahan farmakologi yang terbukti ratusan jurnal data ilmiah dan klinis bisa membantu menangani & memelihara kesehatannya, baik lewat konsultasi ke dokter maupun skincare legal dan aman yang diformulasikan dengan baik.
Kesimpulannya: puasa skincare—layaknya gerakan pseudoscience seperti detox atau ‘clean’ beauty—tidak didukung bukti ilmiah credible yang menunjukkan manfaatnya untuk kesehatan kulit jangka panjang.
Dengan membiarkan kulit ‘bekerja keras’ justru bisa jadi kita malah ‘mencurangi’ kesehatan organ tubuh yang sesungguhnya dapat dipelihara dengan formula, metode dan gaya hidup yang tepat dan didukung berbagai data atas keefektifannya dalam mencegah permasalahan di masa depan—misal kanker kulit akibat sun protection kurang memadai—yang memerlukan biaya yang lebih besar untuk ditangani.