Di pertengahan tahun 1990-an, dipercaya dan dipahami kasus bahwa individu yang lebih rajin memakai sunscreen malah memiliki risiko untuk terjangkit kanker kulit atau melanoma, padahal kulit tidak mengalami sunburn/terbakar matahari saat berjemur atau terpapar sinar matahari setelah bertahun-tahun.
Namun kemudian di awal tahun 2000-an, barulah disadari dan dipahami bahwa formula UV filter sunscreen di tahun 1990-an hanya menyaring sinar UVB (yang membuat sunburn), sedangkan penyebab utama kanker kulit adalah sinar UVA yang sifatnya terselubung atau tidak terasa ‘sakit’nya.
Dengan memahami dua hal di atas, ada pelajaran yang bisa kita petik:
- Pemahaman yang kita miliki sekarang tentang perawatan kulit, belum tentu dalam 10, 5, atau satu tahun ke depan akan menunjukkan hasil yang sama, bahkan bisa bertentangan.
- Berkaca dari kasus melanoma tadi, kita bisa tahu kalau kulit itu pintar ‘memendam’ reaksi saat tersakiti, artinya kulit tidak harus terasa perih, kering, terbakar, merah atau celekit-celekit saat sedang mengalami kerusakan dari sinar UVA yang sifatnya terselubung atau terpendam.
Berkaca dari kasus efek negatif sinar UV pada kulit di atas, iritasi dari bahan-bahan yang tidak diperlukan kulit seperti fragrance, atau bahan-bahan yang memiliki risiko tinggi untuk menimbulkan inflamasi seperti essential oil, witch hazel, sulfur, pembersihan menggunakan sabun batang atau surfactant yang kasar juga dapat menambah masalah pada keseimbangan skin barrier dan kesehatan kulit secara perlahan-lahan dan akumulatif, yang dalam jangka panjang dapat berisiko memperparah:
- Kulit dehidrasi -> makin memicu produksi minyak/sebum yang semakin banyak, sehingga
- Pori-pori makin gampang tersumbat, timbul jerawat:
- Atau bahkan penuaan dini (premature skin-aging); sehingga inflamasi ini kerap mendapat julukan Inflamm-aging;
- Maupun reaksi contact dermatitis yang berisiko mendadak muncul jauh di kemudian hari/lanjut usia terutama pada penderita rosacea akibat akumulasi pemakaian produk berpewangi/tinggi irritant (baik yang sumbernya alami maupun sintetis)
Dan jika dalam kondisi inflamed atau meradang atau sensitized ini, bekas jerawat (post inflammatory erythema / hyperpigmentation) dan beberapa kondisi kulit lain akan cenderung lebih sulit untuk diatasi.
APAKAH GENTLE = JAMINAN KESEMBUHAN?
Seandainya skincare bisa semudah itu, tetapi sayangnya jawabannya: tidak selalu. Karena studi publikasi sudah cukup jelas menjelaskan bahwa kulit membutuhkan kombinasi dari berbagai golongan bahan-bahan yang menutrisi atau melindungi kulit (sunscreen, antioxidant, bio-actives, emollient, humectant, dsb) demi menjaga integritas jangka panjangnya atau menginterupsi faktor-faktor lain yang mempengaruhi penuaan dini, ataupun exfoliant jika memiliki masalah jerawat ringan-ke-sedang.
Tentunya formula skincare rendah irritant juga bukan semata-mata sebagai "solusi" untuk masalah skin conditions akibat faktor genetik seperti atopic dermatitis, eczema, psoriasis, atau infeksi jamur, staph akibat disbiosis microbiota di kulit yang masih memerlukan perawatan dan pengobatan ke dokter spesialis kulit/dermatologist bersertifikasi dan terdaftar, terutama jika kondisi yang cukup parah.
Dan upaya menghindari sumber inflamasi ini juga bukan berarti semata-mata akan terbebas dari reaksi alergi terhadap bahan kosmetik atau sensitivitas terhadap bahan bio-actives pada konsentrasi tertentu, bahkan pada produk yang telah diformulasikan dengan baik sekalipun. (singkatnya: iritasi, reaksi alergi yang random dan sensitivitas merupakan hal yang berbeda).
Jadi penggunaan skincare yang sebisa mungkin rendah irritant merupakan suatu upaya/approach untuk tidak memperparah skin concerns yang sudah ada atau untuk tidak mengganggu keseimbangan kesehatan dan integritas kulit.
SEBURUK APA PRODUK DENGAN BAHAN IRITAN?
Tak perlu dikhawatirkan, semua produk skincare yang beredar di Indonesia yang sudah bersertifikasi ijin edar BPOM - dengan pedoman penggunaan bahan kosmetika sebagaimana yang diatur di Peraturan BPOM No 12 dan 23 Tahun 2019 - berarti sudah dijamin keamanannya untuk tidak menimbulkan bahaya kesehatan (non-hazardous).
"The dose makes the poison" — Paracelsus, 1538
Namun dalam hal untuk memperparah inflamasi yang berisiko menimbulkan berbagai masalah kulit di kemudian hari, sebagaimana informasi yang disampaikan di atas, pilihan ada di tangan kita masing-masing untuk menimbang setimpal atau tidaknya dengan membandingkan apakah manfaat yang akan kita peroleh lebih besar daripada risikonya.
Penting diketahui pula bahwa masih banyak faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan kesehatan kulit dalam hal perawatan kulit dari segi mekanis, faktor gaya hidup, atau habit seperti:
- bagaimana teknik aplikasi produk skincare (seberapa lembut mengusap menggunakan kapas atau jari)
- apakah memakai cleansing brush atau cleansing device atau scrub yang terlalu kasar
- membersihkan kulit terlalu berlebihan (over cleansing)
- teknik bercukur (terutama pada laki-laki)
- terbiasa kopek-kopek jerawat dengan jari
- pemakaian sunscreen kurang memadai atau terpapar sinar matahari terlalu lama walau sudah menggunakan sunscreen
- seberapa sering terpapar polusi, asap rokok
- jenis makanan yang dikonsumsi atau minuman beralkohol
juga dapat berperan untuk menambah gesekan berlebih di kulit serta berisiko memperparah inflamasi, sehingga tidak semata-mata formula produk skincare yang dipakai saja yang menjadi biang keladinya.
REFERENCES:
- Int J Cancer., 1995, June 9;61(6), Pages 749-755
- Ann Intern Med., 2003, Dec 16;139(12): Pages 966-978
- Exp Dermatol., 2009 Oct;18(10): Pages 821-832
- Dermatoendocrinol., 2011 Jan-Mar; 3(1): Pages 41–49
- Archives of Dermatological Research, 1996, issue 5-6, pages 245-248
- Somatosensory & Motor Research, 1992, issue 3, pages 235-244
- Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology, May 2012, pages 32-40
- An Bras Dermatol. 2016 Jul-Aug; 91(4): 472–478
- Allergy. 2020 Jan; 75(1): 63–74
- Journal of Dermatological Science, March 2017, pages 152-161
- Journal of European Academy Dermatology & Venereology. 2020 Jun 2 : 10.1111/jdv.16628
- International Journal of Dermatology. 2004 Jul; 43(7): 522–523
- Cutis. 1979 May;23(5):704-5
- Practitioner. 1961 Jan;186:92-4
- Konsil Kedokteran Indonesia (Internet, retrieved in July 2020)